BLORA, ANTARAKITA – Kecintaannya terhadap Bahasa Inggris membuat Ahmad
Setio Widodo menemukan impiannya. Bahkan laki-laki kelahiran Blora, 4 Mei 1990 ini
sempat mengenyam pendidikan Bahasa Inggris di Kampus University Of Kansas Amerika Tengah selama 6 bulan secara gratis.
Untuk
itu, para pembaca sekalian, kalau ingin tak gagap ngomong berbahasa Inggris. Datang saja di Fastco. Tempat belajar Bahasa
Inggris yang menyenangkan. Menggunakan metode unik. Dijamin, lulus dari sana
mahir berbahasa Inggris.
Ribuan
orang pernah mengenyam pendidikan Bahasa Inggris di Jalan Gunung Wilis, Nomor
41, Kelurahan Tempelan, Blora tersebut. Mulai dari anak Playgroup hingga
mantan Staf Ahli Bupati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahmad
Setio Widodo mengaku, Fastco mulai dirintis pada 2013 silam. Namun benar-benar
siap setahun kemudian. Yaitu tahun 2014. Tepatnya setelah dirinya lulus kuliah dari IAIN Syech Nurjati Cirebon. Tepatnya lagi
setelah ia kembali dari Kampus University Of Kansas Amerika
Tengah.
“Awal
mula tertarik bahasa Inggris ketika saya mendapat kesempatan untuk kuliah
gratis oleh paman saya di Cirebon. Saat itu ambil jurusan Bahasa Inggris,”
ucapnya.
Tak
ingin mengecewakan sang paman, anak pertama dari Tiga bersaudara ini terus
mengasah kemampuannya berbahasa asing tersebut. Caranya dengan getol belajar Bahasa Inggris dengan berbagai
metode melalui internet.
“Selain
itu, saya mengikuti nasehat teman-teman yang sudah bisa berbahasa Inggris. Kemudian
saya mempraktikkan dengan didampingi teman yang pintar Bahasa Inggris.
Alhamdulillah bisa saya rasakan sampai saat ini,” tambahnya.
Jebolan
SMA 1 Tunjungan Blora ini mengaku, awal mula belajar Bahasa Inggris memang
tidak mudah. Butuh keseriusan dan kedisiplinan. Setelah beberapa bulan belajar
Bahasa Inggris secara Intensif, akhirnya mulai mampu berbicara Bahasa Inggris. Meski
jauh dari kata sempurna.
“Beranjak
Semester 3, saat liburan kuliah, saya pergi ke Kampung Inggris. Hijrah untuk belajar
pada empunya. Di sana saya bertemu Mr. Faruq. Kemudian saya belajar dengan beliau sekitar
2-3 bulan,” ucap anak dari pasangan Sunaryo dan Sri Sulistyowati.
Setelah
selesai liburan dan kembali masuk kuliah, dia memutuskan untuk bergabung dengan
temannya dan menjadi mentor bahas inggris. Ini semata-mata untuk mengembangkan ilmu
dan metode yang di dapatkan dari kampung Inggris.
“Alhamdulillah,
dengan niat untuk berbagi ilmu, kemampuan Bahasa Inggris saya semakin
meningkat. Karena saya selalu mempraktikkan Bahasa Inggris itu saat mengajar,”
tegasnya.
Selain
itu, ia juga ikut dalam Organisasi Kampus Inggris. Sehingga dia lebih mudah
untuk mencari teman dan berlatih Bahasa Inggris. “Saat liburan, saya selalu
pergi ke Kampung Inggris lagi. Namun bukan lagi belajar. Melainkan jadi
pengajar. Di situlah saya bisa mendapatkan metode Bahasa Inggris yang cepat,
tepat, menyenangkan dan berkualitas,” tambahnya.
Tahun
2011, ayah satu anak ini mendapat informasi beasiswa untuk pertukaran pelajar
ke Amerika dari Internet. “Kemudian saya menanyakan kepada senior dan dosen
untuk ikut beasiswa tersebut. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya
saya bisa ikut. Waktu itu pesertanya sekitar 3000 orang. Lolos 20 orang salah
satunya saya,” ucapnya.
Saat
hendak mengikuti test, sebenarnya dia tidak memiliki uang. Sebab baru saja
kehilangan sepeda motor dan helm. Sehingga dia terpaksa nebeng teman-temannya
yang ikut test seleksi dan akhirnya mereka tereliminasi.
“Saat
itu tidak langsung dikabari siapa yang lulus. Setelah 3 bulan berlalu, saya ditelfon
pihak Jakarta untuk memberikan selamat. Awalnya saya pikir itu penipuan.
Ternyata beneran. Saya lolos dan bisa ikut beasiswa. Seminggu berikutnya saya
pergi ke Jakarta dan membuat paspor dan cek kesehatan. Satu bulan kemudian
berangkat ke Amerika,” imbuhnya.
Selama
6 bulan di University Of Kansas Amerika Tengah, dia mendapat
banyak pelajaran. Mulai kedisiplinan waktu, metode belajar bahasa inggris,
mengasah kemampuan dan lainnya. “Di
sana kami belajar dengan para guru besar di Amerika. Selain itu mempelajari
budaya dan keyakinan mereka,” tambahnya.
Menurutnya,
di Amerika, metode mengajarnya memang beda dengan di sini (Indonesia, red). Di sana,
lebih cenderung bagaimana membuat siswa lebih antusias untuk belajar. Sehingga
belajar bisa dari kemauan diri sendiri. Sebab belajar tidak bisa dari paksaan
orang lain. Selain itu karakter itu terbentuk oleh metode yang diajarkan dan
peraturan yang ada di kampus sangat ketat. “Mereka juga sangat disiplin soal
waktu. Tidak ada kata telat dan terlambat. Sekamar satu dengan orang Jepang. Di
sana juga memanfaatkan teknologi seperti belajar dengan internet, Medsos, dan
proyektor setiap waktu,” tambahnya.
Setelah
pulang dari Amerika, ayah dari Ahmad Tsaqif Rayyan Athariz ini fokus
menyelesaikan Skripsi dan wisuda. Sempat ingin melanjutkan kuliah S2 di
Australia. Namun saat tiba di Blora, hati kecilnya terpanggil untuk ikut
mencerdaskan anak-anak Blora soal Bahasa Inggris.
“Sejak
saat itu, saya mulai mengajar Bahasa Inggris di rumah. Dengan menggunakan
fasilitas seadanya. Saya harus berbagi ruangan degan dapur milik ibu saya.
Siswa pertama adalah adik-adik saya dan teman-temannya. Sehingga jadi seperti
ini,” bebernya.
Suami
dari Siti Mardhiyah ini mengaku, saat itu terbesit nama Fasco. Yang artinya,
Fastabiqul Khoirot. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Dengan lambang garis 9 dan
Bintang 9. “Tahun 2014 siswa mulai banyak. Sudah 50-an. Mulai dari sekolah dan
umum. Sampai sekarang sudah ribuan,” jelasnya.
Ahmad
Setio Widodo mengaku, saat ini lulusan dari Fasco kebanyakan masuk di polisi,
kapal pesiar, ikatan dinas, dan kerja di berbagai bidang. Ada juga yang di luar
negeri. “Semua kalangan. Mulai dari Playgroup,
pelajar, ASN, Polisi, pembisnis dan lainnya. Mulai dari anak petani hingga ASN.
“Kasat Lantas Polres Blora juga pernah belajar di FASCO. Serta Staf Ahli
Bupati,” bebernya.
Selama
berdiri, sudah ribuan yang pernah belajar dari Fasco. “Pengajar saat ini ada 5
orang. Tidak hanya yang lulus juga anak kuliahan. Lulusan Fasco juga. Sehari
ada 15 kali pertemuan. Sekali pertemuan 15 orang. Sekarang maksimal 8-10 orang.
Mulai jam 08.30-20.00. Pelajaran selama 01.30 menit,” tambahnya.
Saat
ini, ia merasa senang bisa mendidik dan membantu mencerdaskan anak bangsa.
Sebab pendidikan Bahasa Inggris itu kurang. Dia ingin mendorong orang Blora
bisa memiliki daya saing dan posisi tawar saat bekerja di tempat sendiri.
Sehingga mereka ikut berpartisipasi dalam mengelola SDA yang ada. Sekarang
Bahasa Inggris jadi kebutuhan bahasa sehari-hari.
“Mengajar
bahasa inggris itu menyenangkan dan bermanfaat. Untuk para pelajar, belajar
Bahasa Inggris itu mudah. Namun tergantung metodenya. Semakin menyenangkan akan
semakin mudah dan menarik untuk dipelajari. Harapannya, semakin banyak orang
yang bisa berbahasa Inggris, sehingga akan semakin mudah Blora menjadi kota
berkembang,” ucapnya. (*)