Ruteng, Antarakita.id – Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusa Komodo Manggarai, Marsel Nagus Ahang menilai perilaku Hery Kabut, pemimpin redaksi media daring Floresa.co yang enggan menggunakan id card (Kartu Pers) sebagai bentuk pelecehan terhadap dunia pers. Terlebih, karena pernyataannya bahwa Floresa beda dengan media-media lain.
Karenanya, Ahang menduga, Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut bekerja untuk kepentingan diri dan medianya dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang wartawan.
Demikian Marsel Ahang melalui rilisnya yang diterima media ini, Jumat (4/10) siang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Marsel Ahang menyatakan dugaan itu karena saat menjalankan tugas di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese pada Selasa (2/10) lalu, Pemred Floresa, Herry Kabut tidak bisa menunjukkan kartu identitasnya sebagai seorang wartawan Floresa kepada pihak aparat kepolisian dari Polres Manggarai yang menanyakan identitasnya. Aparat kepolisian dari Polres Manggarai menanyakan identitas Herry Kabut ketika dia mengambil foto petugas yang sedang bekerja mengamankan identifikasi pengadaan lahan pengembangan PLTP Ulumbu di Poco Leok.
Aparat menanyakan identitas Herry Kabut karena aparat kepolisian mengidentifikasi yang bersangkutan adalah wajah baru di lokasi tersebut, dan mengambil foto tanpa meminta kepada aparat yang sedang bertugas.
Menurut Ahang, seharusnya jika Pemred Floresa itu bekerja sebagai seorang wartawan, seharusnya dia melengkapi diri dengan kartu identitas sebagai seorang wartawan yang mudah diketahui atau dibaca oleh siapapun, termasuk aparat yang sedang bertugas.
“Wartawan bersama medianya itu bekerja untuk kepentingan umum sehingga dalam menjalankan tugasnya, harus menunjukkan identitasnya secara terbuka. itu prinsip transparansi dan akuntabel dari media massa. Jika tidak menunjukkan kartu identias itu artinya wartawan bersama medianya bekerja untuk kepentingan diri” tukas Ahang.
Ahang pun mengurai apa yang dikronologikan oleh Pemred Floresa seperti diberitakan media tersebut pada edisi Kamis (3/10) dengan judul Kronologi Penyekapan dan Penyiksaan Pemimpin Redaksi Floresa, yang dimuat media Floresa. “Sangatlah menarik untuk dikaji dari sisi peran pers di tengah masyarakat, khususnya bagaimana pers melakukan tugas-tugas jurnalistik atau peliputan di tengah masyarakat,” tandasnya.
Kata Ahang, pers atau media massa yang bertugas melakukan pemberitaan atas sebuah peristiwa, untuk di Indonesia, seperti lembaga lainnya, memiliki keterikatan atau diatur dalam aturan yang mengikat baik secara kelembagaan maupun personal. “Keterikatan itu diatur melalui konstitusi negara dalam hal ini UUD, UU, statuta atau kode etik yang berlaku universal, mengikat ke dalam dan keluar sebuah Lembaga dan personal yang bekerja di lambaga tersebut. Sekali lagi, untuk konteks di Indonesia, semuanya mengacu pada konstitusi negara yaitu UUD 1945, lalu breakdownnya di atur dalam produk hukum turunannya,” jelasnya.
Lanjutnya, untuk pers, lembaga yang bekerja di ruang lingkup pers harus patuh pada UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, kode etik jurnalistik dan kode etik organisasi wartawan maupun statuta media.
Dia uraikan, Pasal 1 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers berbunyi, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
“Dalam melaksanakan tugasnya, setiap wartawan patuh pada kode etik jurnalistik yang ditetapkan oleh asosiasi/wadah/organisasi berhimpun para wartawan,” jelasnya seraya menambahkan Dewan Pers berdasarkan keputusan bersama 29 organisasi wartawan dan perusahan pers pada tanggal 14 Maret 2006 telah menetapkan Kode Etik Jurnalistik untuk dipatuhi oleh seluruh wartawan dan perusahan pers.
Adapun bunyi pasal 2 Kode Etik Jurnalistik, jelas Ahang, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran dari Kode Etik Jurnalistik terhadap Cara-cara yang profesional adalah sebagaimana diatur dalam huruf a Kode Etik Jurnalistik yaitu menunjukkan identitas diri kepada narasumber.
Ahang menjelaskan, namun dalam pengakuan Pemred Floresa, Herry Kabut, sebagaimana dalam kronologi yang ditulisnya, saat tiba di lokasi (maksudnya di Poco Leok), Herry Kabut langsung melakukan pemotretan situasi lokasi.
Herry Kabut mengaku mengambil 10 gambar di lokasi dengan foto terakhir menampilkan tiga warga dan dua orang Polwan yang sedang duduk di dalam mobil keranjang polisi.
Ahang mengutip yang ditulis Pemred Floresa, Herry Kabut sebagaimana yang dimuat Floresa:
Saat saya mengambil gambar itu, seorang polwan memanggil dan meminta saya naik ke dalam mobil itu.
Polwan itu menanyakan tujuan saya mengambil gambar itu. Saya menjawab, “saya seorang jurnalis.” Polwan itu lalu bertanya, “jurnalis dari media apa?” yang saya jawab, “dari media Floresa.”
Merespons jawaban itu, polwan itu kembali bertanya, “mana ID card?” mengacu pada kartu pers.
Saya menjawab bahwa saya tidak membawa kartu pers, melainkan surat tugas dan “bisa menunjukan kepada Anda bahwa saya benar-benar merupakan jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.”
Pada bagian lain keterangannya, Pemred Floresa menulis lebih lanjut:
Saat saya turun, seseorang di antaranya langsung mengunci leher saya. Ia dan beberapa aparat lain menggiring saya sejauh kurang lebih 50 meter ke arah timur dari mobil keranjang itu dan sekitar 60 meter dari tempat warga, sambil menanyakan kartu pers saya.
Kepada mereka, saya mengulangi penjelasan saya kepada polwan itu dan meminta mereka mengecek web Floresa karena di situ terdapat pengakuan dan penegasan bahwa saya adalah jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.
Apa yang ditulis oleh Pemred Floresa, Herry Kabut di atas secara, jelas Ahang lebih jauh, terang-benderang bahkan secara sadar telah mengabaikan kode etik jurnalistik Dewan Pers yaitu TIDAK menunjukkan identitas kepada nara sumber, dalam hal aparat kepolisian yang sedang bertugas mengawasi/mengawal identifikasi lahan untuk akses jalan masuk menuju lokasi wellped D di Meter untuk kepentingan pengembangan proyek PLTP Ulumbu unit 5 dan 6 Poco Leok.
Untuk diketahui, pengembangan PLTP Ulumbu di wilayah Poco Leok, telah terjadi pro dan kontra di masyarakat dan telah menjadi perhatian public, termasuk media pemberitaan. Media Floresa diyakini telah mengetahui hal tersebut.
Pro dan kontra tersebut antara masyarakat pemilik lahan yang menyetujui lahannya untuk dijadikan lahan pengembangan PLTP Ulumbu di Poco Leok dengan masyarakat yang bukan pemilik lahan.
Wartawan Floresa dalam hal ini Pemred Floresa, Herry Kabut, mengetahui bahwa potensi eskalasi koflik horizontal di wilayah Poco Leok akan bahkan terjadi terkait pengembangan PLTP Ulumbu sehingga aparat keamanan hadir untuk mencegahnya. Namun Pemred Floresa secara sadar menjalankan tugasnya dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip kerja seorang wartawan sebagaimana diatur dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan kode etik jurnalistik.
Dia tegaskan, kesalahan lain, selain tidak menunjukan kartu identitasnya sebagai seorang jurnalis adalah menyuruh pihak aparat kepolisian untuk mengecek identitasnya di website milik Floresa.
“Berada dalam situasi di lapangan, dengan menyuruh aparat kepolisian untuk memeriksa website milik media Floresa adalah bukan cara kerja profesional dari seorang jurnalis, karena yang dinamakan identitas diri seorang jurnalis adalah melekat atau satu kesatuan dari jurnalis; atau dengan kata lain, kartu identitas jurnalis itu melekat nyata pada badan seorang pekerja media, bukan di website media,” ungkapnya.
Kata Dia, Pemred Floresa telah mempertontonkan ke publik hal-hal yang bertentangan dengan UU No.40 tahun 1999 tentang pers dalam soal melaksanakan perannya sebagaimana diatur dalam pasal 6 yaitu menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum.
“Sangat disesalkan, Pemred Floresa telah menunjukkan cara kerja pers yang bertolak belakang dengan asas-asas supremasi hukum yaitu transparansi dan akuntable. Cara kerja yang tidak transparan sebagai sorang jurnalis adalah cara kerja untuk kepentingan diri, bukan untuk kepentingan umum,” Ahang kembali menegaskan.
“Media dan wartawan Floresa telah menunjukkan cara kerja yang di luar aturan, seolah-olah memiliki hak istimewa dalam menjalan tugas atau kerja jurnalistik dengan membelakangi UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, dan kode etik jurnalistik. Ataukah media Floresa memiliki hak istimewa sebagai sebuah media pemberitaan?” demikian Marsel Ahang.
Penulis : Pablo
Editor : Pablo